(0362) 22046
rsud@bulelengkab.go.id
Rumah Sakit Umum Daerah

Penderita Kanker Paru Bisa Hidup Lebih Lama dengan Imunoterapi

Admin rsud | 10 April 2019 | 822 kali

Dunia sedang mengalami euforia terhadap imunoterapi. Sebuah metode pengobatan kanker yang digadang-gadang sebagai terapi masa depan karena dapat memperpanjang usia pasien, dibandingkan metode pengobatan lainnya.

Imunoterapi kian menjadi perbincangan hangat dalam lingkup pengobatan kanker. “Dalam tiga tahun terakhir ini, euforia terhadap imunoterapi memang besar sekali. Terutama ketika mantan presiden Amerika Serikat sembuh dari melanoma setelah mendapat imunoterapi jenis PD-1 inhibitor. Sejak itu, obat ini mulai dicobakan ke berbagai jenis kanker,” tutur spesialis onkologi medik Dr. dr. Andhika Rachman, Sp.PD-KHOM dari FKUI/RSCM, Jakarta.

Bagaimana cara kerja imunoterapi? Yuk kenal lebih jauh dengan pengobatan terbaru kanker ini.

Imunoterapi Menguatkan Sisitem Imun Tubuh Pasien Kanker

Imunoterapi adalah pengobatan yang menggunakan sistem kekebalan tubuh sendiri untuk melawan sel-sel kanker. Tubuh memiliki sel T yang merupakan bagian dari darah putih. Darah putih ini tugasnya melawan musuh, inilah tentara dalam tubuh, tentara yang kita miliki,” ujar dr. Jeffry B. Tenggara, Sp.PD, KHOM, konsultan Hematologi dan Onkologi Medik dari MRCCC Siloam Hospitals.

Sel darah putih memiliki banyak komponen seperti limfosit, basofil, fagosit, dan lain-lain. Komponen yang berperan dalam melawan kanker adalah sel limfosit T dan sel NK. Tetapi, terkadang meksipun sudah memiliki senjata yang banyak, sel-sel kekebalan kita tidak cukup kuat untuk melawan kanker.

Kanker tumbuh secara perlahan, dan pada awalnya kekebalan tubuh manusia dapat membasmi sel kanker sebelum berkembang lebih lanjut. Seiring waktu, sel kanker bertumbuh makin cepat hingga kekebalan tubuh tidak dapat lagi mengimbangi pertumbuhan kanker. Bahkan beberapa jenis kanker juga memiliki mekanisme untuk menghancurkan sel limfosit T.

“Jadi, prinsip imunoterapi ini memanfaatkan mekanisme kekebalan sel-sel tubuh kita sendiri untuk melawan kankernya,” tegas dr. Jeffry.

Jenis-jenis Imunoterapi

Ada beberapa macam metode imunoterapi, atau menguatkan sistem kekebalan tubuh agar dapat melawan kanker. Misalnya dengan vaskin. Ini adalah metode yang sudah cukup dikenal. Vaksinasi pada intinya memberikan paparan pada sel imun dengan penyebab kanker sehingga akan mengenalinya sebagia musuh. Contohnya adalah vaksin HPV untuk mencegah kanker serviks.

Cara lain adalah dengan melatih sel imun lebih kuat. Sel-sel imun direkayasa di laboratorium agar menjadi lebih kuat, setelah itu disuntikkan kembali ke tubuh pasien kanker. Harapannya, mereka sudah lebih kuat melawan sel-sel kanker yang bandel.

Ada pula meningkatkan sistem imun dengan memberikan obat yang dapat memutus ikatan sel imun dan sel kanker. Sebagian sel kanker sangat pandai. Mereka dapat mengikat bagian sel imun yang bisa mengenali sel kanker, akibatnya sel imun menjadi tidak bisa membedakan sel kanker dan sel sehat. Nah ada obat yang berfungsi memutus ikatan ini sehingga sel imun bisa mengenali sel kanker dan membunuhnya. 

Obat yang dimaksud dikenal sebagai anti PD-1 (nama generiknya pembrolizumab). PD-1 adalah bagian dari sel T limfosit, yang bertugas menginduksi program kematian sel, dalam hal ini sel kanker. Secara alamiah, tubuh memiliki mekanisme untuk mematikan sel kanker secara otomatis dengan aktivasi reseptor PD-1.

Sayangnya bila PD-1 berikatan dengan PD-L1 milik sel kanker, sel T menjadi tidak aktif. Sel kanker memang sangat pintar; ini adalah salah satu caranya menyembunyikan diri dari kejaran sistem imun. 

Imunoterapi Memperpanjang Usia Pasien Kanker Paru

Tidak semua kanker memiliki PD-L1. Karenanya pula, tidak semua kanker bisa diterapi dengan anti PD-1. Beberapa jenis kanker yang dapat diterapi dengan anti PD-1 adalah:

Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) atau non-small cell lung cancer (NSCLC)

  1. Kanker kulit jenis melanoma maligna
  2. Kanker ginjal.

Hadirnya anti PD-1 memberikan pilihan terapi yang lebih banyak bagi pasien kanker paru, dengan efikasi yang baik. Berdasarkan pengalaman Dr. dr. Andhika, pemberian obat ini meningkatkan progression-free survival hingga enam bulan. Progression-free survival (PFS) adalah masa selama kanker tidak berkembang. Ini hal yang cukup menjanjikan, mengingat angka kesintasan (survival rate) pasien kanker paru sangat rendah.

Tetapi, tidak semua pasien kanker paru jenis bukan sel kecil bisa mendapat imunoterapi anti PD-1. Pasien harus melakukan pemeriksaan PD-L1 pada sel kankernya. "Jika sel kankernya memiliki ekspresi PD-L1 di atas 50%, maka imunoterapi akan sangat efektif,” terang Dr. dr. Andhika. Pada kondisi demikian, imunoterapi dilakukan sebagai pengobatan tunggal, jadi pasien tidak perlu menjalani kemoterapi.

Di Indonesia, anti PD-1 disetujui oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) untuk pengobatan kanker paru dan kanker kulit jenis melanoma maligna. Ini adalah jenis kanker kulit yang paling ganas, yang menjangkiti Jimmy Carter.

Kini penggunaannya tidak sebatas pada kedua kanker tersebut. Di penelitian maupun di tempat praktik, imunoterapi anti PD-1 juga digunakan untuk berbagai kanker lain, yang telah dibuktikan mengekspresikan PD-L1.

Dr. dr. Andhika sendiri  telah menggunakan obat ini untuk pasien kanker pankreas, kanker payudara, kanker empedu, hingga kanker kepala dan leher. Anti PD-1 biasa diberikannya pada pasien dengan status performa fisik yang kurang baik. Hasilnya cukup baik dan tanpa efek samping, meski efikasinya tidak sebaik pada kanker paru dan melanoma.

Pasien tertua yang diberikan imunoterapi anti PD-1 oleh Dr. dr. Andhika berusia 82 tahun, yang menderita kanker pankreas. Pasien tersebut mendapat anti PD-1 sebanyak 12x. Pasien ini masih hidup sampai sekarang, setahun lebih setelah pengobatan dengan anti PD-1. “Selama pengobatan pun kualitas hidupnya bagus. Dia bisa beraktivitas sehari-hari seperti biasa,” lanjutnya.

Biaya Imunoterapi Masih Mahal

Saat ini kendala utama pemberian immunoterapi adalah biaya yang sangat mahal hingga mencapai ratusan juta rupiah. Dengan demikian, pemberiannya terbatas pada pasien dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Tanpa imunoterapi saja, pengobatan kanker sudah sangat mahal.

“Kanker membuat individu menjadi tidak produktif, dan biaya pengobatannya akan menguras keuangan,” sesal Dr. dr. Andhika. Ia melanjutkan, “Kebutuhan imunoterapi di Indonesia sangat besar, apalagi ini digadang-gadang sebagai pengobatan masa depan untuk kasus kanker. Namun di Indonesia penggunaannya belum luas, masih terbatas, sehingga datanya belum banyak.” (AY)