Pandemi Covid-19 terlanjur diselimuti kontroversi sejak kedatangannya. Meski hingga saat ini jumlah penduduk global yang terinfeksi telah mendekati angka 60 juta orang dan jumlah kematian mencapai 1.4 juta jiwa serta kerugian ekonomi menembus nilai 100 kuadrilium rupiah, aroma kontroversi masih menyengat.
Kali ini uap kontroversi berhembus dari perdebatan soal vaksin covid-19. Pertanyaan dan dugaan kritisnya adalah, mungkinkah vaksin tersedia dalam waktu kurang dari setahun? Akankah itu efektif dan aman? Jangan-jangan ada pihak yang telah merancang wabah virus ini sejak awal untuk kemudian meraup keuntungan besar dari bisnis vaksinnya, sebuah skenario yang terlalu mudah untuk dimaklumi.
Siapa saja yang beruntung akan divaksin dan siapa saja yang akan “dikorbankan” sebagai kelinci percobaan? Sepertinya, rumah sakit lagi-lagi akan dapat kesempatan bermain bisnis, ya bisnis vaksin yang merugikan rakyat setelah beberapa waktu lalu “berbisnis” tes rapid. Kontroversi memang telah menarik minat setiap orang seakan pesona kopi hangat yang baru dituang didampingi sepiring pisang goreng lezat, namun sebaliknya, kontroversi dapat menyandera kalangan sains dan otoritas menjadi sulit untuk bergerak lebih cepat.
Namun demikian, sains memiliki modal yang sangat mendasar saat mengemukakan gagasannya, yaitu bukti ilmiah. Testimoni saja atau bahkan data empirik belum cukup kuat menopang sebuah gagasan/pendapat ilmiah. Ia harus didukung oleh bukti ilmiah yang telah dihasilkan oleh serangkaian riset sesuai kaidah-kaidah baku universal. Ia bersedia diuji dalam forum-forum ilmiah independen di mana saja. Seperti isu terkait vaksin Covid-19 ini misalnya.
Dua perusahaan farmasi kawakan, Pfizer dan Moderna yang berkedudukan di USA telah melaporkan dokumen riset mereka telah selesai tahap 3 dengan bukti efektifitas lebih dari 90% dan tingkat keamanan yang sangat baik. Tahap 3 sebuah uji klinis melibatkan jumlah sampel yang sangat besar, kedua perusahaan ini melibatkan setidaknya 44 ribu dan 30 ribu orang relawan.
Sementara vaksin Cinovac, produksi China yang akan digunakan di Indonesia bekerja sama dengan perusahaan farmasi pemerintah PT Biofarma Indonesia diujikan pada sekitar 1.400 orang relawan. Jika uji klinis tahap 3 telah selesai, barulah badan POM dapat mengeluarkan izin kedaruratan penggunaan vaksin ini untuk masyarakat luas.
Bagaimana mungkin hanya dalam setahun vaksin Covid-19 bisa diciptakan? Pengalaman di bidang medis, paling cepat vaksin dihasilkan 3 tahun setelah wabah merebak. Durasi waktu tersebut dinilai cukup ideal bagi ilmuwan untuk melakukan pemetaan gen kuman secara lengkap, merancang komponen antigenik yang paling sesuai serta uji klinis yang memadai.
Namun, kita selalu diingatkan, tak pernah ada yang absolut dalam dunia sains. Saat pandemi kian meraja lela dan korban semakin banyak, apa pun akan diupayakan oler para ahli. Maka, kembali pada konsep dasar kalangan ilmiah, penemuan mereka mesti didukung oleh hasil uji klinis yang valid. Pada titik ini, pertimbangan bisnis maupun politik dipastikan tidak bisa turut campur.
Adakah kemungkinan model vaksin ini telah dirancang jauh-jauh hari sebelum wabah “diledakkan” sebagai sebuah konspirasi? Selalu ada kemungkinan dalam kehidupan di dunia yang fana ini. Namun jika kita lihat saat ini provider vaksin adalah perusahaan-perusahaan farmasi yang memang profesional bergerak di bidangnya sedari dulu, dugaan konspirasi menjadi tak cukup kuat.
Dugaan mengorbankan masyarakat sebagai kelinci percobaan dalam uji klinis vaksin ini juga sebetulnya hanya merupakan sebuah kecemasan dan prasangka. Siapapun yang turut serta menjadi sampel dalam penelitian tersebut memang disebut sebagai relawan karena mereka memang tak pernah dipaksa untuk ikut.
Sebelum menyatakan kesediannya, kandidat relawan harus membaca informed concent dengan seksama terlebih dahulu dan jika setuju barulah diikutkan dalam uji klinis. Bahkan saat relawan ingin berhenti di tengah jalan sebelum penelitian berakhir pun ada haknya. Bersama relawan lain yang keluar karena berbagai alasan sebelum riset kelar dimasukkan ke dalam kelompok drop out. Siapapun boleh menjadi relawan, apakah masyarakat biasa, pejabat, seorang dokter, pelajar, laki-laki, perempuan dan seterusnya. Sebelum menjalani perlakuan medis sebagai sebuah uji coba, semua relawan harus diperiksa terlebih dahulu kesehatan mereka, untuk kemudian dapat direkrut menjadi sampel penelitian. Jadi ketentuan prinsip dari siapapun yang akan menjadi relawan penelitian adalah setuju dan layak.
Lalu siapa sajakah yang akan divaksin? Wabah ini berakhir jika telah terjadi herd immunity atau kekebalan bersama. Tak harus seluruh populasi yang harus kebal untuk itu. Sedikitnya 60-70% yang telah kebal, maka dapat terbentuk kekebalan bersama yang memagari seluruh populasi dan wabah akan berakhir. Kekebalan ini dapat terjadi secara alami yang tentu saja sangat berisiko karena harus banyak orang yang terinfeksi dengan risiko mengalami sakit berat dan kematian. Itulah kemudian vaksinasi menjadi solusi lebih baik dengan menciptakan kekebalan komunitas buatan.
Semakin banyak yang divaksin tentu semakin baik, namun ketersediaan vaksin tentu tidak dapat mengikuti dalam sekejap, oleh karena itu harus diterapkan prioritas bagi populasi yang lebih rentan dan berisiko tertular. Pemerintah merencanakan vaksinasi untuk 100 juta penduduk. Maka karena untuk satu orang perlu dua dosis yang diberikan dalam interval 3-4 minggu, maka harus disiapkan vaksin sebanyak 200 juta dosis. Tentu ini bukan jumlah yang kecil. Maka panduan vaksinasi nasional tentu sudah dirancang dengan memberi prioritas vaksinasi untuk kelompok lebih berisiko seperti nakes, TNI/Polri, kelompok lansia, anak-anak dan seterusnya.
Hal yang sangat penting perlu diperhatikan pemerintah dengan penuh kehati-hatian adalah, saat mana menentukan harga jika vaksin tersebut dijual untuk kebutuhan mandiri atau bagi mereka yang tidak memiliki jaminan kesehatan karena mampu secara ekonomi. Ada baiknya, pemerintah satu persepsi dengan rumah sakit dan pusat pelayanan kesehatan lain dalam menentukan biaya pelayanan vaksin tersebut.
Harus dipahami, tentu saja ada perbedaan antara harga vaksin saja dari produsen dengan biaya pelayanan vaksin di sebuah tempat yang lebih terpencil misalnya. Maka dengan memahami segala aspek yang telah dikemukakan di atas, vaksin diharapkan kelak betul-betul mewujudkan kekebalan bersama untuk menghentikan wabah, bukannya justru kegaduhan baru.