Ketika kita semua sedang berperang melawan virus “penakluk duania” saat ini, corona tipe SARS-Cov-2 penyebab pandemi Covid-19, virus demam berdarah dengue (DBD), secara sporadis terus melancarkan serangan. Ini memang musuh lama kita, yang sejak ditemukan pertama kali pada tahun 1968, terus menjadi masalah kesehatan serius masyarakat Indonesia.
Wajarlah saja dari 30 negara endemis DBD, Indonesia berada pada urutan ke-2. Secara nasional, saat ini ada sekitar 50 ribu jumlah kasus DBD, jauh lebih tinggi ketimbang kasus Covid-19 yang tercatat yaitu sebanyak 31 ribu terkonfirmasi. Syukurlah korban meninggal akibat DBD jauh lebih kecil, yaitu sebanyak 310 orang, seperenam korban tewas akibat Covid-19 yang sebanyak 1.851 orang. Yang mengagetkan lagi, jumlah kasus di Bali adalah kedua tertinggi di Indonesia setelah Jawa Barat, dengan jumlah kasus sebanyak 6 ribu lebih, dengan 13 korban meninggal dan bahkan kabupaten Buleleng, tercatat sebagai kabupaten dengan kasus terbanyak nasional, dengan 2.300 kasus dan 5 kematian.
Artinya, dari jumlah kasus maupun kematiannya, baik di propinsi Bali maupun di kabupaten Buleleng, DBD jauh lebih berat ketimbang Covid-19. Dalam hal Covid-19, propinsi Bali termasuk daerah yang tingkat kesembuhannya tertinggi, sekitar 59% (nasional 17%, global 32%) dan kematian terendah, sekitar 1% saat angka nasional sekitar 5.9%.
Situasi ini membuat Bali mendapatkan apresiasi dalam penanganan wabah Covid-19 dari pemerintah pusat dan bersama beberapa propinsi lain seperti DIY Yogyakarta dan Bangka Belitung telah dipertimbangkan untuk menjadi daerah pertama melakukan pelonggaran aktivitas sosial. Tentu saja tak dapat dilepaskan juga karena Bali merupakan aset andalan bidang pariwisata yang memiliki determinasi kuat secara ekonomi nasional. Lantas kenapa kita tetap lebih ngeri dengan Covid-19 dan seakan-akan DBD bukan apa-apa?
Akan ada sejumlah alasan yang dapat dikemukakan. Sepertinya kita telah berdamai, atau tak sadar telah menyerah menghadapi DBD. Satu persoalan yang sudah sedemikian lama kita hadapi, pada suatu titik seakan-akan sampai juga pada satu keadaan teradaptasi atau lebih tepatnya sikap apatis. Tentu ini bukan hal yang baik. Sikap seperti ini jelas meniadakan greget otot-otot kita untuk tetap kencang melawannya. Keadaan ini mirip dengan bagaimana kita pun lelah dan lalu terbiasa menghadapi penyakit TBC yang setiap tahun di Indonesia diperkirakan membunuh sekurangnya sebanyak 67 ribu penderitanya.
Artinya, jika dirata-ratakan, setiap jam sedikitnya 8 orang Indonesia meregang nyawa dibantai kuman tuberkulosis itu. Sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan kematian akibat kecelakaan lalu lintas di negeri ini yang rata-rata setiap jama ada tiga orang meninggal di jalan raya. Dan ini pun sudah kita anggap biasa saja.
Alasan lain yang membuat kita lebih santai menghadapi DBD adalah, karena lain dengan Covid-19 yang ditularkan langsung dari manusia ke manusia, DBD hanya bisa ditularkan oleh nyamuk poleng Aides aegypti. DBD tetap membiarkan kita berpelukan hangat dengan sahabat atau keluarga, saat corona memisahkan kita yang tak suka sendirian, tercerai berai. Berada sendirian dalam ruangan isolasi jelas bukan pilihan orang-orang biasa seperti kita.
Walau memusnahkan nyamuk Aides mudah secara teoritis, faktanya hingga saat ini populasi tetap subur di sekitar kita. Kita pun selalu bersikap reaktif dan bertingkah menjadi pandir dengan berebut minta fogging (pengasapan) dan tak lupa menyalahkan pemerintah. Pengasapan, yang tampak heboh, sesungguhnya hanya prosedur yang memberi dampak paling sepele dalam program pengentasan nyamuk DBD. Sesuatu yang tampak heboh umumnya memang sedikit isinya dan kerap kali membuat kita menjadi abai dan terlalu santai.
Mestinya kita harus kembali pada hal-hal sederhana dan mudah yang sering kali punya kekuatan mengagumkan. Jika pengasapan butuh sedemikian banyak sarana, jadwal dan syarat jumlah tertentu kasus DBD di suatu lingkungan, maka tindakan-tindakan yang lebih efektif seperti menghilangkan genangan air sebagai habitat jentik si nyamuk poleng dapat kita lakukan setiap saat dan tak butuh sarana yang rumit-rumit. Apabila habitat bibit nyamuknya kita hilangkan, lalu bagaimana mungkin bisa tumbuh nyamuk dewasa sebagai vektor/penular?
Namun tentu, hal sederhana dan mudah ini tak cukup hanya dikerjakan oleh segelintir orang saja, namun harus secara serempak dikerjakan oleh semua orang dan terus-menerus. Harus ada kesadaran dan kepedulaian yang tak putus-putusnya. Jika bukan sebuah perang, sudah pasti ini strategi jitu melawan DBD. Satu rumah saja tak solid melakukannya, maka nyamuk dewasa yang tumbuh di situ dapat meneror orang lain dalam radius 100 meter. Maka berpelukan dalam komunitas jangan cuma dalam pesta-pesta meriah, kepaduan pun menjadi keharusan dalam strategi pemberantasan DBD.
Fenomena yang terjadi dalam dunia medis dan penyakit memang sangat menarik. Sungguh mencengangkan sekaligus membingungkan, bagaimana mungkin virus SARS-Cov-2 yang hanya terdiri dari 30 ribu untai genom saat ini telah mengunci manusia yang super kaya dengan tiga milyar untai genom. Namun jangan buru-buru berkecil hati, tubuh kita sesungguhnya mampu menciptakan hingga 100 juta antibodi/kekebalan terhadap kuman yang berbeda.
Meskipun demikian, alam telah mengatur, dengan kekuatan maha dahsyat sebesar itu, manusia berpotensi menjadi mahluk diktaktor. Menganggap mahluk lain tak penting dan sah untuk dipinggirkan bahkan dimusnahkan. Dan kita telah berkali-kali diingatkan. Maka, super antibodi yang kita miliki harus selalu diikuti kerendahan hati dengan bersedia menguras genangan air sebagai strategi perang cerdas melibas DBD.
Putu Arya Nugraha Sp.PD