Rata-rata penyandang masalah autoimun, termasuk lupus, menolak vaksin karena khawatir penyakitnya tambah parah.
Vaksin adalah mekanisme wajib yang harus dilakukan guna mencegah infeksi berbagai penyakit ke dalam tubuh. Mekanisme perlindungan vaksin dimulai saat virus atau bakteri yang dilemahkan mengaktifkan sistem imun tubuh.
Namun, masih banyak orang percaya kabar burung soal efek samping vaksin, mulai dari penyebab autisme hingga autoimun, sehingga banyak orang enggan melakukan vaksinasi. Ada rupa-rupa rumor yang mengaitkan vaksinasi dengan gangguan autoimun.
“Vaksin bisa membikin autoimun karena infeksi virus dan bakteri aktif.”
“Orang dengan autoimun tidak boleh divaksin karena membikin kesehatan mereka makin buruk.”
Dua kalimat di atas adalah kekhawatiran yang paling sering terdengar menyangkut vaksin dan autoimun. Gangguan autoimun adalah kondisi ketika reaksi sistem kekebalan (sistem imun) tubuh justru melawan sel sehat pada tubuh. Penyakit autoimun di antaranya adalah lupus, psoriasis, rematik, sklerosis, diabetes, Sindrom Guillain Barre (GBS).
Dalam laman Children’s Hospital of Philadelphia, disebutkan bahwa beberapa penyakit autoimun memang bisa disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus. Contohnya adalah GBS yang didapat dari infeksi bakteri kampilobakter, multiple sclerosis (penyakit pada sistem saraf pusat) yang diperparah oleh virus influenza, dan diabetes yang dipicu virus coxsackie. Pada kondisi yang terakhir disebutkan, tubuh melawan sel-sel pada pankreas yang bertugas membuat insulin.
Lantaran infeksi alami dapat menyebabkan kondisi autoimun, dapat dipahami jika ada kesimpulan gegabah bahwa vaksin turut menjadi penyumbang autoimunitas. Namun, banyak studi telah meneliti berbagai jenis vaksin dan hasilnya belum ada yang terbukti menyebabkan penyakit autoimun.
“Vaksin tidak mendorong respons imun sekuat pada infeksi alami, sehingga kecil kemungkinannya vaksinasi memicu autoimunitas,” tulis laman tersebut.
Dalam beberapa penelitian, vaksin influenza memang ada yang memicu GBS, tetapi hanya satu kasus per juta penerima vaksin. Di sisi lain, infeksi influenza alami menjadi faktor penyebab GBS pada 17 per juta orang yang terinfeksi. Jika dilihat dari sisi ini, vaksin influenza justru dapat mencegah risiko timbulnya GBS yang lebih umum. Vaksin Bagi Penyintas Autoimun Di Indonesia belum diketahui secara pasti jumlah penyintas autoimun yang menghindari vaksinasi karena khawatir efek samping terhadap penyakitnya. Namun, sebuah penelitian yang terbit dalam jurnal Rheumatology (2018) menyebut lebih dari sepertiga pasien Jerman dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE) tidak mendapatkan vaksinasi. Sebagian besar dari mereka takut vaksin mendorong lupus flare (kambuh) atau khawatir efek samping negatif akibat vaksin. Peneliti melakukan survei pada 579 pasien SLE untuk mengetahui alasan mereka menolak vaksinasi. Sebanyak 57,3 persen pasien memiliki status vaksinasi dan diperiksa oleh dokter umum, internis, reumatolog, atau spesialis lainnya. Lalu, seperempat pasien (24,9 persen) tidak mendapatkan status vaksinasi sama sekali. Bahkan, 16,1 persen pasien mendapat saran dari dokternya agar tidak divaksinasi.
Selanjutnya, ada 37,5 persen pasien menolak vaksinasi secara pribadi. Dari jumlah tersebut, 21,8 persen menolak karena takut mengembangkan flare, sementara 13,5 persen khawatir vaksinasi menyebabkan efek samping negatif. Hasil penelitian tersebut menunjukkan banyak dokter tidak menerangkan manfaat vaksin pada pasien. Akibatnya, tingkat vaksinasi pada penyintas autoimun di Jerman tidak mencapai target (rendah untuk semua vaksin tercatat). Padahal, negara itu telah mengeluarkan rekomendasi penggunaan vaksin kepada orang dengan penyakit rematik kronis, termasuk SLE. “Teori yang mengaitkan vaksinasi dengan risiko autoimun belum bisa dibuktikan secara ilmiah,” kata Sandra S. Langow, dokter di Rumah Sakit Siloam yang saat ini bekerja menangani kondisi reumatik autoimun.
Laman Lupus Foundation of America menjelaskan bahwa vaksin rekombinan mati seperti flu, pneumonia, dan tetanus tidak akan meningkatkan aktivitas penyakit lupus. Meski begitu, terdapat kasus orang dengan lupus mengalami flare pasca-vaksinasi. Karenanya, dokter Sandra mengatakan bahwa vaksin harus sangat hati-hati diberikan pada orang yang sedang menggunakan obat imunosupresan (obat yang mengurangi sistem kekebalan tubuh).
“Vaksinasi dapat dilakukan pada penyandang autoimun yang berada pada level stabil, di bawah pengawasan dokter,” ujarnya.
Dijelaskan lebih rinci pada jurnal Annals of the Rheumatic Diseases (PDF), vaksin pada penyandang autoimun harus diberikan saat penyakit stabil guna meminimalkan kekambuhan penyakit. Vaksin yang diberikan pun harus merupakan vaksin mati. Vaksin hidup mengandung sejumlah virus atau bakteri aktif yang bisa membikin infeksi saat sistem kekebalan tubuh melemah.
Vaksin mati di antaranya adalah vaksin polio (intravena), hepatitis A, hepatitis B, rabies, influenza (intravena), diphtheria, tetanus, pertussis, typhoid, human papillomavirus, pneumococcus, meningococcus, dan Haemophilus influenzae type b (Hib). Jenis vaksin ini tidak dapat berubah menjadi bentuk infeksi pada individu dengan gangguan imunitas. Namun, efektivitasnya akan berkurang pada individu dengan terapi imunosupresan jangka panjang, sehingga perlu injeksi berjangka.
Contoh vaksin hidup adalah vaksin measles, mumps, rubella, varicella, zoster, yellow fever, rotavirus, and influenza (intranasal). Vaksin jenis ini memberikan imunitas jangka panjang dalam sekali dosis. Namun, ia bisa berubah menjadi bentuk infeksi pada individu dengan gangguan imunitas dan tidak efektif pada individu dengan terapi antibodi.
By : Aditya Widya Putri (tirto.id - Kesehatan)